Darimana Akses Permodalan Startup? Generasi millennial, menggunakan dana dari dunia global. Mereka sudah terhubung satu sama lain dan mencari dana bukan hanya dari negerinya sendiri. Mereka sudah tidak mengandalkan dana dari perbankan lagi.
Karena di Indonesia, bunga itu demikian mahal, tapi di negara lain yang terjadi justru sebaliknya. Di Negara kita, dana pihak ketiga sedikit, pasokannya tidak begitu besar, tetapi yang menggunakan sangat besar, termasuk negara menggunakan untuk membangun infrastructure. Tetapi di luar negeri yang terjadi sebaliknya. Di AS, pasokan modal itu demikian besar, uang itu demikian banyak tetapi yang membutuhkan tidak banyak. Akibatnya, supply berlebih, bunga pun turun.
Aneh sekali dunia ini, karena sedang kelebihan modal. Di Jerman belum lama ini baru saja mengeluarkan obligasi dengan bunga negative, dan anehnya banyak juga ternyata yang membeli. Jadi kalau membeli obligasi di Indonesia, kita dikasi uang, dapat bunga. Sementara di Jerman, kita membeli obligasi mereka, membiayai pemerintah Jerman, tetapi kita kasi uang tambahan kepada mereka.
Begitu juga di Jepang, yang juga menggunakan metode bunga negative yang artinya kita taruh uang di bank justru kita harus membayar bunga. Jadi pemerintah Jepang sedang mengupayakan ekonominya bergerak dengan rakyatnya harus berani meminjam dan akibatnya uang digunakan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi produktif.
Melihat fenomena ini, ketika di Indonesia bunga mahal, di luar negeri bunga murah, maka banyak kaum muda yang mencari dana nya ke luar negeri. Dan disana banyak pilihannya. Inilah yang dikenal dengan istilah Financial Deepening. Mereka melihat ada yang namanya angle investor, yang biasanya adalah filantropis.
Pemilik perusahaan pemegang saham yang besar, kemudian mereka menjadi angel. Bahkan di beberapa stasiun TV ada programnya, Angel Investor. Biasanya mereka akan menyeleksi anak-anak muda yang melakukan pitching, presentasi, dan kalau dia suka, kemudian dia bilang, “Saya mau mebiayai kamu, berapa kamu perlunya”.
Dan setelah itu, tentu saja tidak gratis. Mereka kemudian minta sesuatu, misalnya saham 30% atau 40%, dan kita tetap menjadi CEO-nya disana, karena mereka tertarik dengan bisnis yang di pitching ini.
Selain Angel Investor, ada lagi yang namanya Venture Capitalist. Venture Capitalist di negara-negara maju ini berkumpul di daerah-daerah teknologi. Mereka menawarkan bantuan kepada kaum muda, yang intinya adalah membiayai sektor-sektor yang inovatif kreatif, yang belum ada ditawarkan di pasar, sehingga sangat beresiko bagi perbankan dan bank tidak mau biayai mereka karena menggunakan rasio-rasio untungnya tidak ada. Sehingga mereka membiayai kaum muda yang kreatif dan menunjukkan produk masa depan hingga akhirnya dibiayai dan kemudian bertumbuh, walaupun belum untuk tapi mereka merasa ini adalah masa depan.
Contohnya adalah Go-jek, yang dibiayai oleh sejumlah Venture Capitalist. Orang-orang tua merasa perusahaan ini adalah bakar uang. Burning rate-nya cukup tinggi, padahal mereka menggunakan venture capitalist yang cara berpikirnya berbeda. Venture capitalist itu mengukur masa depan, ekspektasi mereka, the future-nya seperti apa.

Sehingga walaupun perusahaan belum untung, tapi venture capitalist sudah melihat value-nya mencapai 17 triliun rupiah. Sementara Blue Bird, yang sudah untung cukup besar, mempunyai armada kendaraan jauh lebih besar daripada Grab, hanya dinilai value-nya 10 triliun rupiah.
Karena yang dinilai oleh para Venture Capitalist itu adalah ekspektasinya kedepan. Kalau anak-anak muda ingin mencari dana, maka dia harus mengetahui apa yang dibutuhkan oleh para venture capitalist, hal yang sama pernah dilakukan oleh Kitabisa.com ini.
Mereka (Kitabisa.com) sampai pergi ke California dan diwajibkan ikut pendidikan disana, belajar metode-metode, kemudian dari situ harus pergi ke negara tetangga, Malaysia, Filiphina, Thailand, dan Singapura. Disana mereka bertemu dengan jejaring yang dibiayai oleh venture capitalist ini, mereka belajar bersama-sama, merumuskan business model, business plan, dan sebagainya, kemudian mereka dibantu dan mendapatkan milyaran rupiah untuk membiayai startup mereka. Dan yang dilihat bukanlah asset-nya, berapa profitnya, tetapi the future, komunitasnya ada berapa, bagaimana response-nya, dan growth-nya bagaimana.
Tentu saja Venture Capitalist ini berbeda dengan Angel Investor. Angel Investor adalah filantropis, perorangan, dasarnya adalah ketertarikan emosional. Sedangkan venture capitalist dasarnya hitung-hitungan. Jadi hitung-hitungan ini adalah ekspektasi kedepan dan jangan juga menjanjikan berlebihan.
Mereka justru mengingatkan apa yang disebut dengan the strong ‘why’, why-nya harus. Seperti misalnya Go-jek, why yang mereka ajukan adalah ingin memecahkan masalah transportasi dengan menggunakan sharing economy, sangat simple. Mereka tidak bilang, nanti kalau sudah banyak yang dapat iklan, dapat ini, dapat itu, forget it. Sehingga tidak bercabang-cabang. Fokus adalah, ‘why’ yang ingin dipecahkan. Jadi pecahkan satu masalah, jangan terlalu banyak masalah.
Sebab, if you want to solve many things, you will get nothing. Jadi fokus pada satu atau dua masalah saja. Kemudian selanjutnya yang harus diperhatikan adalah Well Targeted. Targetnya harus jelas kemana, siapa yang dibidik. Maka dari itu diperlukan research. Jika data sudah dikumpulkan dengan baik dan jelas, maka akan mudah menyajikan business plan.
Kita harus memiliki good tagline, tagline-nya harus jelas dan yang disebut juga dengan instant summary. Jangan terlalu banyak summary, cukup satu atau dua lembar. Oleh karena itu, harus mempunyai yang disebut one page summary. Jangan berbelit-belit, cukup dalam bentuk video atau motion graphic, jelaskan sebentar karena mereka juga tidak punya waktu terlalu banyak, sementara yang meminta bantuan banyak dan yang pitching banyak sekali. Jadi cukup berikan sesuatu yang ringkas dan mudah dipahami.
Dan selanjutnya, business plan ini tidak boleh terlalu sempurna. Karna bisnis adalah sesuatu yang dinamis, yang diajukan itu bisa saja sesuatu yang belum lengkap, tapi karena diberi kesempatan kepada venture capitalist untuk berfikir, mereka bisa menyumbang ide dan kalau mereka sudah menyumbang ide, bagaimana mungkin mereka tidak membeli gagasan tersebut
Kemudian Venture Capitalist juga tidak suka terhadap anak-anak yang pitching dimana-mana. Punya business plan unik, tapi ditawarkan kepada venture capitalist dimana-mana. Bidiklah kepada satu, dua venture capitalist yang memang mempunyai spesialisasi pada bidang yang terkait dengan produk kita.
Jangan Cuma ingin agar ide nya dikenal, terus pitching dimana-mana, sehingga orang akan bingung kita ini berguru kepada siapa. Kita punya guru dimana-mana tetapi tidak berguru apa-apa.
Hingga akhirnya kita hanya sibuk untuk mengurus kompetisi business plan bukan untuk mengaplikasikan, membesarkan business plan kita.
Orang-orang yang berhasil adalah orang-orang yang sibuk mengurus bisnisnya, bukan yang sibuk untuk mengurus dari satu galeri ke galeri lainnya untuk menjual siapa kehebatan dirinya tersebut.
Sumber: Kursus The Art of StartUp di Indonesia X oleh Prof. Rhenald Kasali
Teman-teman bisa ikut kursusnya secara GRATIS Disini