Filosofi Ekonomi Gotong Royong. Akibat dari bisnis model yang terbaru yang kita bahas pada beberapa artikel sebelumnya, saat ini menjadi ramai sekali perbincangan dan pertentangan di berbagai negara, dikarenakan incumbent atau pemain lama yang kalah bersaing.
Sharing Economy seringkali juga salah ditafsirkan ketika diterjemahkan dan kita mempunyai kosakata yang sangat terbatas yaitu ‘ekonomi berbagi’. Padahal ini bukan ekonomi bagi-bagi, ini adalah ekonomi berbasiskan Sharing Resources. Resources nya di-sharing, seperti ekonomi gotong royong.
Gotong royong merupakan warisan dari leluhur kita dari Sabang sampai Merauke. Contohnya bila ada kematian, bunyi-bunyi musik serta semua orang datang pakai kain adat, ada yang bawa baskom isinya makanan, buah-buahan, rokok, tenaga, dan lainnya.
Seperti yang dilakukan Pak Restupen di Pulau Adonara, Nusa Tenggara Timur. Ia memuat koperasi keuangan rakyat. Mengumpulkan orang yang memiliki tanah untuk dijadikan perkebunan, lalu pergi ke kampung-kampung mengumpulkan orang-orang yang mau bekerja secara gotong royong, meskipun pada awalnya hanya dibayar makan.
Hingga pada akhirnya 5-7 tahun kemudian, tanaman kacang mete mereka digemari dunia, berawal dari orang India. Setelah itu barulah uang berputar, ketika sudah ada barangnya. Dan itu merupakan hasil dari sharing resources, yang punya tenaga bawa tenaga, yang punya uang bawa uang, yang punya nasi bawa nasi, dan kumpul.
Formal economy yang berbasiskan kepemilikan formal, tidak ada traditional culture-nya, mengakibatkan banyak terjadi pengangguran (Idle Ecconomy), pengangguran karna resource-nya dikunci. Hingga kemudian timbul ide, kenapa tidak kembalikan pada ekonomi gotong royong, yang basisnya adalah kerjasama, kepercayaan, dan ini dimungkinkan karena adanya aplikasi.
Anak-anak muda kemudian menggunakan metode dengan aplikasi mempertemukan para petani, sarjana dari sekolah pertanian, kemudian tanah-tanah kosong itu dikumpulkan karena banyak sekali masyarakat di kota yang punya tanah.
Jadilah sebuah situs yang mempertemukan antara mereka yang punya tanah dengan mereka yang punya tenaga. Setelah jadi, mereka gotong royong, lalu bagi hasil.

Case Study selanjutnya adalah dalam dunia Taksi dan Ojek. Mereka yang punya mobil, motor, dan tenaga disatukan oleh pemilik aplikasi, dipertemukan dengan mereka yang membutuhkan kendaraan itu. Mengapa bisa murah, karena mereka tidak memerlukan biaya investasi yang besar. Tidak perlu sewa pool, beli mobil, bayar security, karna parkirnya dirumah masing-masing dan tidak ada biaya depresiasinya.
Tidak perlu pakai izin A, izin B, izin C. Tentu saja mereka diberikan kelonggaran agar menjadi Formal Economy. Tetapi bukan dengan cara membuat biaya menjadi lebih tinggi. Justru tantangannya datang bagi para regulator, bagaimana menyederhanakan Cost Structure perizinan. Izin yang banyak dan berbelit harus disederhanakan, agar menguntungkan masyarakat serta mereka yang menjadi lebih baik dan lapangan pekerjaan menjadi lebih tersedia.
Di zaman ini ada pekerjaan yang disrupted, dan hilang. Tetapi ada juga kelompok lain yang menciptakan pekerjaan. Seperti teori kekekalan energi, bahwa segala sesuatu itu adalah kekal abadi, dan hanya berpindah tempat.
Permasalahannya mereka mau berpindah atau tidak, pengusahanya mau nggak memindahkan, terlambat atau tidak mereka memindahkan. Karena kalau terlambat mereka akan musnah, tetapi kalau berhasil mereka akan menjadi pemilik masa depan.
Inilah yang disebut Sharing Economy, Ekonomi berdasarkan Sharing Resources. Basisnya Gotong Royong, dan menjadi cepat diambil oleh masyarakat karna ada values kita, didukung dengan teknologi. Kita pun bisa melakukannya karena ini akan membantu merubah peta bisnis kita.
Sumber: Kursus The Art of StartUp di Indonesia X oleh Prof. Rhenald Kasali
Teman-teman bisa ikut kursusnya secara GRATIS Disini