Memahami Kurva Belajar Bagi Para StartUp. Setiap pengusaha adalah seorang pembelajar. Kebanyakan kesalahan mengatakan bahwa kita harus menjadi sesuatu karena sekolah kita dan beranggapan bahwa belajar itu hanya di sekolah.
Wirausaha harus selalu belajar, karena ia belajar maka ia selalu berfikir dan menghubungkan orang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu penting sekali untuk memahami yang disebut dengan kurva belajar, learning curve.
Dalam ilmu management, learning curve juga kadang disebut experience curve. Kurva belajar itu terbagi 2 yaitu cost (garis vertikal), dan time (garis horizontal)
Ketika memulai, selalu ada cost atau biayanya. Biasanya diawal biayanya akan lebih besar, tingkat kesalahannya lebih tinggi. Mulai dari kesalahan teknis, ditipu orang, salah merekrut pegawai dan yang lainnya. Tapi lama kelamaan cost ini akan turun, karena kita sudah semakin berpengalaman. Semakin hari semakin kecil tingkat kesalahan kita, biaya pun akan lebih rendah.
Namun banyak sekali yang dalam prosesnya, sudah terlalu cepat berhenti karena dia capek sekali. Karena berwirausaha banyak ruginya, banyak kesalahannya dan akhirnya mereka meninggalkan dunia kerwirausahaan atau startup ini.
Jika kita belum pernah melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang kita rencanakan tersebut, kita harus siap dulu, belajar dulu, mengarungi kurva belajar ini. Ketika orang membuat feasibility study, membuat business plan biasanya mereka sudah melihat kurva yang dibawah. Padahal mereka seharusnya berpikir, bahwa baru memulai, cost-nya masih besar, angka kesalahan masih tinggi.
Salah satu contoh terdekatnya adalah ketika Bapak Prof. Rhenald Kasali diminta untuk membuat lapangan kerja untuk tetangganya yang menganggur. Pada saat itu sedang terjadi krisis ekonomi, yang membuat banyak orang kehilangan pekerjaan. Akhirnya mereka mencari produk dan yang tinggal di kampung urunan beramai-ramai agar bisa membiayai usaha bersama semacam koperasi.
Mereka akhirnya memilih usaha ternak bebek. Tetapi mereka memutuskan untuk memulainya dengan jumlah 5000 ekor, jumlah yang sangat besar tentunya. Mereka juga sudah mendapatkan lahan nganggur yang bisa dipakai dan masyarakatnya bersedia meminjamkan.
Prof Rhenald meminta mereka belajar dulu dengan 10 ekor, karna tahap awalnya adalah belajar dulu. Tetapi mereka tidak sabar dan akhirnya mereka mulai dengan 5000 ekor. Sehingga mereka kewalahan walaupun arealnya cukup luas, mereka kekurangan orang dan ketika sampai kami dijanjikan setelah 2 minggu itik akan bertelur.
Namun yang terjadi setelah 2 minggu ditunggu itik tidak bertelur, pegawai harus ditambah, makanan harus ditambah, variable cost-nya nambah terus, kemudian mereka menyaksikan setiap minggu 2 ekor itik meninggal dunia.
Kemudian masalah-masalah lainnya juga datang secara bergantian dan mereka belum juga mendapatkan penghasilan, tidak sesuai bisnis plan yang mengatakan bahwa setelah 2 minggu itu akan mulai ada penghasilan. Namun yang ada hanyalah masalah yang datang dengan bergantian, pegawai sudah minta jatah, kemudian orang yang dijanjikan akan bisa menjualkan telur ternyata tidak mendapatkan telurnya, akibatnya terjadi banyak keributan dan para penyandang dana juga menyerah karena biaya yang dikeluarkan naik terus sementara income-nya tidak ada.
Disini kita bisa ambil pelajaran bahwa kurva belajar itu memang mahal, kita harus mengalami dulu, karena pada diawal memulai bisnis pasti banyak ketidakpastian.
Maka dari itu jangan terburu-buru masuk dalam perhitungan business plan yang disebut dengan break event point, sadari betul sebagai pemula harus menelusuri kurva belajar ini

Makna Belajar dan Memetik Pengalaman
Ketika memulai kurva belajar, dengan tahap awal kita memulai sesuatu, cost kita relative tinggi. Oleh karena itu penting sekali bagi kita untuk belajar dulu dalam sector yang ingin dimasuki, bisa juga dengan bekerja dulu dengan orang lain pada bidang tersebut, sehingga bisa tahu karakter konsumen, materi, bisnis, dan lain-lain sebagainya.
Jadi ketika memulai bisnis, kita sudah melewati suatu fase yang relative agak panjang. Seperti yang dijelaskan dalam kitab suci, yaitu ‘bacalah’. Pelajari apapun yang kita harus baca, maka belajar sebetulnya adalah belajar membaca.
Selain membaca buku, kita juga harus pintar membaca karakteristik, membaca alam, mebaca hubungan, apalagi kalau bisa membaca needs dari orang lain. Termasuk ketika akan belajar dengan seseorang, kita harus bisa membaca segala hal tentang orang tersebut.
Seperti kata Plato,
Guru akan datang ketika murid-muridnya sudah siap
Membaca disini bukan sekedar yang ada di dalam sains dalam arti buku, tetapi sains disini juga adalah sebuah eksperimen, kegiatan menguji action A dengan action B, apa bedanya. Kalau kondisinya A, bagaimana responnya. Sains ini adalah membaca sebuah keteraturan.
Seperti dalam sebuah bencana alam, katakanlah Gunung Meletus. Sebelum terjadi gunung meletus, gunung itu sudah mengirim signal, seperti abu belerangnya sudah terbang keatas, sudah ada getaran-getaran, hewan-hewan mulai turun kebawah, dan sebagainya.
Kalau manusia itu bisa mebaca, mereka dengan cepat pindah karena tahu gunung tersebut akan meletus atau terjadi kemarau sebentar lagi disana.
Memang sih ada tipe orang yang pandai dalam sekolah, dan tipe orang yang pandai dalam kehidupan. Orang-orang yang pandai sekolah hendaknya juga pandai dalam kehidupan. Jika didalam sekolah kita dilarang menyontek, tetapi didalam kehidupan orang saling menyontek.
Disini tugas seorang yang berprofesi sebagai pengajar sangat penting sekali, yaitu merubah anak-anak yang pintar disekolah juga pintar dalam ilmu kehidupan. Karena kita memiliki mitos seakan-akan startup itu dibangun oleh mereka yang drop out, mereka yang tidak pandai. Mitos ini harus dirubah dan dalam dunia pendidikan seorang pendidik harus bisa mendidik anak-anak pintar disekolah dan juga pintar dalam kehidupan
Belajar Membaca Momentum
Seorang entrepreneur adalah seorang pembelajar, belajar dalam kehidupan, sekolah, dan juga dalam berbisnis juga akan terus belajar. Karna kalau kita berhasil hari ini, bukan berarti akan berhasil selama-lamanya. Apapun yang dikembangkan itu maju, pasti akan mencapai puncaknya dan teori siklus mengatakan, setelah mencapainya akan mengalami saturation. Ia akan berhenti bertumbuh, mengalami penuaan, dan setelah itu akan perlahan-lahan turun kebawah.
Maka dari itu sebelum turun ke bawah ini kita harus rubah, harus melompat ke kurva kedua. Ini merupakan sebuah langkah strategi perubahan. Oleh karena itu kita harus belajar. Belajar ini banyak sekali jenisnya.
Misalnya belajar abstraksi, yaitu mengembangkan kemampuan berpikir abstrak, berpikir kreatif, tidak punya beban, tetapi tidak mencari cara dari sesuatu yang belum dijalani. Kadang-kadang juga tidak realistis, karena dunia yang belum digeluti dengan setelah kita masuki bisa berbeda sama sekali.
Produk yang ketika di survey, hasilnya tidak dibutuhkan, tetapi begitu product-nya ada, justru meledak. Karena Product yang masuk disaat yang tepat dan menggunakan istilah yang tepat ini akan menjadi viral.
Kita berpikir orang akan mengambil sesuatu karna kebutuhan, tetapi juga ada masalah yang disebut ‘momentum’, ada masalah emosi, ada masalah dan sesuatu yang tiba-tiba cling, ‘aha moment’ di kepala manusia.
Maka dari itu kita harus terus belajar. Belajar itu ada biayanya, belajar itu ada kesalahannya, belajar itu tentu saja sakit kepala, dan hanya mereka yang betah belajar itu yang akan berhasil dalam kehidupan ini
Prinsip Mengejar Makna
Ketika berwirausaha, hendaknya kita harus ingat bahwa kita bukanlah tukang. Boleh saja kita menyukai seni, tetapi kalau keasyikan hanya membuat karya seni kita bukan wirausaha. Karena seorang wirausaha lebih dari sekedar membuat karya seni.
Seorang wirausaha itu memperhatikan relationship, mengembangkan, dan membangun bisnis.
Seperti apa yang dikemukakan oleh Thomas Alva Edison (entrepreneur mindset) dan Nikola Tesla (Scientist), meskipun Tesla memilik produk yang powerful, Alva Edison memilki mindset pebisnis dengan memindahkan pabriknya dari Menlo Park (Chicago) ke New York yang pasarnya ramai, sektor keuangannya mendukung kemudian dia mencari sumber-sumber yang bisa membantu usahanya.
Karna jadi wirausaha itu bukanlah seperti tukang. Seperti yang orang-orang bayangkan pendiri Facebook Mark Zuckerberg adalah seorang yang computer nerd. Mark bukan sekedar mengembangkan teknologi, dia memiliki ide, hubungkan orang, deal bisnis dengan angel investor, venture capitalist, market, mahasiswa, dan memberikan produknya secara gratis kemudian mengembangkannya.
Sedikit membahas tentang cara-cara kepepet yang pernah dijelaskan para mentor bisnis, cara ini bagus ketika kita pertama kali atau seskali mengalami situasi kepepet. Tapi kalau menggunakan cara itu sebagai strategi setiap saat, otak kita akan terbiasa dan sudah tau bahwa sedang dimanipulasi oleh keadaan.
Orang-orang yang berhasil adalah orang-orang yang memang membangun hubungan, mereka yang mau belajar setiap saat. Jangan pernah menjadi money-oriented, karna itu akan membuat kita materialistis, sangat perhitungan dan akhirnya kita akan dijauhkan oleh orang lain.
Belajarlah menggunakan cara-cara yang digunakan oleh Google, Facebook, dengan menggratiskan produknya, sehingga kemudian mereka menjadi perusahaan terkaya di dunia. Orang-Orang seperti ini mengatakan kejarlah meaning, jangan kejar uang. Dengan mengejar meaning, hidup kita akan menjadi lebih bijak, akan menjadi lebih soft, dan bahagia dalam menjalaninya.
Karena bahagia, maka nanti kita akan berhasil. Rezeki akan datang sendiri dan orang-orang yang bahagia ini cenderung akan lebih panjang umur, kalau sakit akan lebih cepat sembuh kembali, dan otaknya akan lebih sehat, lebih menyenangkan dan panjang umur dibanding yang lain.
Uang akan datang dengan sendirinya bagi orang-orang yang mengejar meaning, karena orang yang mengejar meaning adalah orang yang bahagia dan orang yang bahagia adalah orang yang bekerja lebih keras dibandingkan orang-orang lain
Sumber: Kursus The Art of StartUp di Indonesia X oleh Prof. Rhenald Kasali
Teman-teman bisa ikut kursusnya secara GRATIS Disini